BERITASEMBILAN.Com-Makassar. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Dr. Aswar Hasan, wafat pada Rabu malam, 13 Agustus 2025, pukul 20.21 WITA di RS Primaya Makassar. Kabar meninggalnya almarhum membuat kolenya yang cukup luas dari berbagai kalangan kaget dan merasa sangat kehilangan.
Salah seorang kerabat dosen di Fisip Unhas, Dr Muliadi Mau, kepada media Rabu malam mengatakan, almarhum disemayamkan di rumahnya Jl. Al Ikhlas sekitar Toddopuli Makassar dan akan dikebumikan sesudah salat duhur, Kamis 14 Agustus 2025.
Aswar Hasan menempuh pendidikan S1 Ilmu Komunikasi, S2 Ilmu Komunikasi konsentrasi Media Massa, dan meraih gelar Doktor di bidang Administrasi Publik di Unhas.
Dia mengampu mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi, Dasar-Dasar Penulisan Kreatif, Metode, dan Cybermedia, serta menjadi supervisor utama penelitian mahasiswa S1 dan S2 di bidang media massa dan kajian media.
Almarhum pernah jadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulsel, Ketua Komisi Informasi Sulsel, dan kemudian menjadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Dalam kiprahnya, Aswar mengusung misi menghadirkan tatanan informasi penyiaran yang sehat, harmonis, dan berlandaskan prinsip demokrasi.
Selain itu, ia juga aktif di berbagai organisasi, di antaranya Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulsel. Pria kelahiran Palopo tahun 1963 ini juga mendirikan komunitas “Liga Film Makassar” yang fokus pada analisis dunia perfilman.
Berikut tulisan terakhir almarhum Aswar Hasan yang dikirim di WAG Alumni Unhas kemarin.
TAHU DIRI DAN TAHU BATAS
Oleh Aswar Hasan
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya;
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al Qur’an [2]:190)
Ayat Al Qur’an Ini bukan sekadar hukum perang, melainkan pedoman universal bahwa dalam situasi paling keras sekalipun, manusia tetap harus berhenti di tepi garis batas.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa melampaui batas berarti menyerang yang tak bersalah, merusak yang tak perlu, mengkhianati janji. Quraish Shihab bahkan menegaskan jika dalam perang saja ada aturan moral, apalagi dalam kehidupan berbangsa yang damai.
Ayat tersebut menjadi dasar filosofis bahwa dalam Islam, kekuatan dan kekuasaan harus dibatasi oleh moral dan hukum. Dalam konteks politik, pesan “jangan melampaui batas” berarti; Pemimpin tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk menindas atau memperkaya diri. Sebaliknya, oposisi tidak boleh merusak tatanan negara hanya demi ambisi. Demikian pula rakyat tidak boleh menuntut dengan cara-cara yang melanggar hukum atau merusak persatuan.
Bahwa di tengah gegap gempita panggung sosial-politik, banyak orang berlari tanpa arah, mengejar kekuasaan tanpa rambu, mengklaim kebenaran tanpa kaca diri. Padahal, Islam telah menanamkan dua tiang penopang akhlak yang tak lekang oleh zaman: tahu diri dan tahu batas. Dua kata sederhana yang, bila dilanggar, mampu menumbangkan peradaban.
Tahu diri berarti memahami bahwa kita hanyalah hamba Allah, bukan tuhan bagi sesama. Pemimpin yang tahu diri sadar bahwa mandat kekuasaan adalah amanah, bukan hak mutlak. Oposisi yang tahu diri dan paham bahwa kritik adalah kontrol, bukan dendam politik.
Rakyat yang tahu diri mengerti bahwa hak harus seiring dengan kewajiban. Sebaliknya, lupa diri melahirkan kesombongan: penguasa menjadi tiran, oposisi menjadi perusak, rakyat menjadi massa liar yang mudah diadu domba.
Sementara tahu batas berarti mengakui ada garis moral dan hukum yang tak boleh dilangkahi. Dalam politik, garis itu adalah keadilan yang tidak boleh dikorbankan demi kemenangan. QS. Al-Mā’idah [5]:8 memperingatkan:
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” Ini adalah pagar etika yang seharusnya menghalangi fitnah, manipulasi opini, dan pengkhianatan terhadap konstitusi.
Gandhi pernah berkata, “Pengendalian diri adalah kebebasan sejati.” Dalam Islam, pengendalian itu bernama taqwa. Dan taqwa hanyalah mungkin jika kita mengenal diri dan mengenal batas. Tanpa itu, kebebasan berubah menjadi kebiadaban; kemajuan berubah menjadi keserakahan.
Bahwa kita hanyalah hamba, makhluk yang lemah, yang hidupnya bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah. Al-Ghazali pernah menulis, “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.”
Imam Al-Ghazali membahas konsep tahu diri (maʿrifat al-nafs) sebagai kunci untuk memahami Tuhan dan menata hidup dengan benar. Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, beliau menulis bahwa mengenali diri sendiri adalah pintu menuju pengenalan Allah,
“مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ”
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Bagi Al-Ghazali, tahu diri berarti menyadari asal-usul, kelemahan, dan tujuan hidup manusia. Kita diciptakan dari tanah, namun dianugerahi ruh Ilahi.
Kesadaran akan asal ini melahirkan kerendahan hati, sedangkan kesadaran akan amanah ruhani melahirkan rasa tanggung jawab moral. Orang yang tidak mengenal dirinya akan mudah melampaui batas—baik dalam hawa nafsu, kekuasaan, maupun ucapan. Sebaliknya, orang yang tahu diri akan mampu tahu batas, sebab ia mengerti mana wilayah yang menjadi haknya dan mana yang menjadi hak Allah serta hak sesama manusia.
Dalam konteks sosial-politik, pandangan Al-Ghazali ini menjadi kritik mendalam: pemimpin yang tidak tahu diri akan terjerumus pada kezaliman; rakyat yang tidak tahu batas akan terjebak pada anarki. Keduanya merusak tatanan, karena tidak ada lagi keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Pada realitasnya sering berbeda. Kita menyaksikan lidah-lidah yang tak mengenal batas, menebar prasangka dan kebohongan. Kita melihat tangan-tangan yang melampaui batas, merampas hak publik untuk keuntungan segelintir elit. Kita menyaksikan strategi politik yang melupakan tahu diri, menghalalkan segala cara, seolah tak ada Allah yang mengawasi. Semua ini adalah pelanggaran terhadap pesan ilahi: innallāha lā yuḥibbul-mu‘tadīn — “Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Olehnya itu, Imam Ali bin Abi Thalib mengingatkan: “Kebenaran yang tidak dibatasi oleh keadilan akan berubah menjadi kezaliman.” Begitu pula kekuasaan yang tidak dibatasi oleh akhlak akan berubah menjadi alat penindasan. Sejarah membuktikan, runtuhnya peradaban sering bukan karena serangan luar, melainkan karena busuk dari dalam: hilangnya kesadaran diri dan hancurnya pagar moral. Itulah pentingnya untuk tahu diri dan tahu batas.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb. (*)