BERITASEMBILAN.Com-Makassar – Dari tepian Pelabuhan Potere, seorang anak kecil yang gemar berenang dan bermain di pinggir pantai itu tumbuh menjadi salah satu tokoh penting olahraga dayung Sulawesi Selatan. Dialah Suting Djafar, lahir di Makassar, 31 April 1964, putra asal Kelle, Bone bagian Selatan yang sejak kecil sudah akrab dengan air, laut, dan perahu.
Masa Kecil di Lingkungan Pelabuhan
Suting tumbuh besar di kawasan Pelabuhan Potere dan markas Angkatan Laut Makassar. Sehari-harinya ia bermain di pantai, mencari ikan, kerang, dan berenang hampir setiap saat. Kedekatannya dengan para anggota Angkatan Laut dimulai dari kebiasaannya menonton latihan renang dan latihan dayung mereka.
Sesekali ia memberanikan diri mendekat, memegang alat-alat renang dan dayung milik prajurit. Meski beberapa kali mendapat teguran dan bahkan “ditenggelamkan kepala” sebagai bentuk hukuman ringan, Suting tak pernah jera. Ia kembali datang esok harinya, hingga akhirnya diterima dan dipercaya memegang kunci tempat penyimpanan alat renang.
Kepercayaan itu membuka pintu bagi Suting untuk mencoba menggunakan alat-alat renang dan perahu dayung. Sejak saat itu, ketertarikannya pada olahraga dayung tak pernah padam hingga kini—lebih dari 40 tahun.
Jejak Pendidikan dan Awal Karier Atlet
Suting menempuh pendidikan di SMP Muhammadiyah 7 Jalan Sangaji Makassar, lalu melanjutkan ke SMAN 4 Makassar dan lulus pada tahun 1986. Ketika duduk di kelas 3 SMA, ia sudah masuk Training Center (TC) Dayung di Danau Mawang, Gowa, sebagai persiapan menghadapi Pekan Olahraga Nasional.
Kariernya sebagai atlet dimulai lebih awal. Ia tampil membela Kota Makassar pada Porda Majene 1983. Rentang panjang kariernya sebagai atlet berlangsung hingga tahun 2000, mewakili Makassar dan Sulsel dalam berbagai kejuaraan dayung di tanah air.
Mengabdi sebagai Pelatih dan Pengurus PODSI Sulsel
Setelah tak lagi aktif sebagai atlet, Suting mengabdikan diri sebagai pelatih dan pengurus olahraga dayung. Perjalanan ini telah ia jalani selama kurang lebih 30 tahun. Di bawah pendampingannya, tim dayung Sulawesi Selatan hampir tak pernah absen membawa pulang medali pada setiap pelaksanaan PON.
Berikut raihan emas Sulsel saat Suting terlibat dalam kepelatihan dan pembinaan:
- PON XV Surabaya 2000 – 2 emas
- PON XVI Palembang 2004 – 1 emas
- PON XVII Samarinda 2008 – 1 emas
- PON XVIII Riau 2012 – 2 emas
- PON XIX Bandung 2016 – 1 emas
- PON XX Papua 2021 – tanpa emas
- PON XXI Aceh-Sumut 2024 – 1 emas
Menurutnya, keberhasilan atlet tampil maksimal tidak hanya ditentukan teknik, tetapi juga mental.
Kisah Sunyi yang Tak Pernah Terlihat di Balik Medali
Dalam hidup Suting Djafar, dayung bukan sekadar olahraga—itu adalah jalan panjang yang ia tempuh dengan seluruh tenaga, waktu, dan hatinya.
Di balik gemerlap medali yang dibawa atlet Sulawesi Selatan, ada cerita-cerita sunyi yang tak pernah muncul di podium. Salah satu yang tak pernah ia lupa adalah perjalanan melelahkan saat mengawal peralatan dayung ke PON XVIII Riau 2012.
Perahu-perahu itu, yang menjadi “senjata” para atlet, diangkut menggunakan truk besar dari Makassar. Suting menyebut momen itu sebagai perjalanan penuh harap dan kecemasan.
Dari Pelabuhan Soekarno-Hatta menuju Surabaya, ia menjaga alat seolah menjaga anak sendiri. Setibanya di Surabaya, rombongan Sulsel bertemu kontingen alat dari Jawa Timur dan Bali. Mereka bergerak bersama, iring-iringan truk yang perlahan melaju menuju Merak, menyeberang ke Bakauheni, lalu melanjutkan perjalanan panjang di jalan Trans Sumatera.
Perjalanan hari demi hari terasa seperti ujian ketangguhan. Di masa itu, warung makan masih terbatas di sepanjang jalur. Mereka bertahan dengan apa yang ada.
Kadang, Suting dan anggota timnya hanya mengunyah mie instan mentah—kering, renyah, dan hambar, tapi cukup memberi tenaga untuk bertahan. Itu bukan tentang makanan; itu tentang tekad untuk memastikan perahu tetap aman sampai tujuan.
Sesampainya di Riau, tantangan baru muncul. Suting harus mencari tempat paling aman dan dekat dari arena lomba untuk menyimpan perahu-perahu itu. Sejak hari pertama hingga pertandingan usai, ia tidur di dekat alat, hanya beralaskan tikar usang dan beratapkan tenda seadanya.
Malam-malam panjang berlalu di antara suara serangga dan angin yang menusuk dingin. Tapi ia tetap terjaga—karena baginya, menjaga peralatan itu sama pentingnya dengan menjaga peluang Sulsel meraih medali.
Suka Duka Melatih Dayung
Menjadi pelatih membuat Suting harus berhadapan dengan karakter atlet yang beragam, terutama remaja yang masih membangun kepercayaan diri. Tidak sedikit atlet yang ternyata belum terampil berenang sehingga ia harus melakukan pengawasan ketat saat latihan.
Pada masa awal membina atlet di Danau Tanjung Bunga, ia bahkan sering menggunakan rakit bambu untuk mendekat dan mengawasi langsung para atlet yang berlatih mendayung.
Sebagai pelatih, Suting mengakui dirinya sering lebih tegang dibanding atletnya ketika menunggu penampilan mereka di arena lomba.
“Kadang anak-anak kurang percaya diri saat bertanding, itu bisa memengaruhi semangat mereka. Tapi kalau tampil bagus dan dapat medali, apalagi emas, semua cape hilang. Biasanya setelah dapat medali baru terasa lapar,” ujarnya sambil tertawa.
Mengabdikan Masa Pensiun untuk Dayung
Suting resmi pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil Angkatan Laut pada tahun 2019. Namun masa pensiun justru membuatnya semakin fokus mengabdikan diri pada pembinaan olahraga dayung di bawah naungan Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI) Sulsel.
Ia telah menjadi bagian dari PODSI selama 40 tahun—sejak masa mudanya sebagai atlet hingga kini sebagai pelatih dan pengurus.
Di bawah bimbingannya, banyak atlet Sulsel menorehkan prestasi di tingkat nasional, Asia, hingga dunia. Bahkan pada gelaran Pra PORPROV Dayung Sulsel 2025 di Danau Tanjung Bunga, sejumlah pelatih dan wasit merupakan mantan atlet yang pernah ia latih bertahun-tahun lalu.
Regenerasi Atlet sebagai Misi Besar
Melihat mantan atlet binaannya kembali sebagai pelatih merupakan kebanggaan tersendiri bagi Suting. Baginya, pembinaan dayung harus menjadi proses berkelanjutan agar Sulsel tetap berprestasi.
“Kalau anak-anak yang pernah kita latih sudah jadi juara, lalu kembali mengajar dan melatih lagi, itu nikmatnya luar biasa,” tuturnya.
Pola pembinaan yang ia jalankan menjadi fondasi penting dalam regenerasi atlet dayung Sulawesi Selatan. Ia berharap generasi baru ini terus menjaga tradisi prestasi Sulsel di tingkat daerah, nasional, hingga internasional.***


















