Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini Buku

Perubahan Iklim dan Ancaman Gizi di Indonesia: Krisis yang Tidak Kita Sadari

×

Perubahan Iklim dan Ancaman Gizi di Indonesia: Krisis yang Tidak Kita Sadari

Share this article
Example 468x60

Oleh: Khaerul Fadly, S.Gz., M.Gz. Dosen S1 Gizi, Universitas Negeri Medan, Indonesia

Perubahan iklim kerap dipahami sebagai isu lingkungan semata: naiknya permukaan laut, cuaca ekstrem, gelombang panas, atau curah hujan yang tidak menentu. Namun ada konsekuensi yang jauh lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, tetapi jarang menjadi perhatian publik: dampaknya terhadap gizi masyarakat. Padahal, apa yang terjadi pada sistem iklim dunia secara perlahan mengubah cara kita menghasilkan pangan, mengakses makanan bergizi, dan menjaga kesehatan generasi mendatang.

Example 300x600

Indonesia, sebagai negara agraris dan maritim dengan ketergantungan tinggi pada padi, sayuran, ikan, dan komoditas pangan segar, berada pada posisi yang sangat rentan. Krisis iklim kini sudah menggerogoti fondasi ketahanan pangan nasional, sementara dampaknya pada gizi—terutama pada kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, penduduk miskin, dan keluarga petani—mulai terlihat namun belum sepenuhnya diakui sebagai ancaman serius.

Pangan Berkurang, Harga Merangkak Naik

Contoh yang paling jelas tampak pada fenomena El Niño 2023–2024. Kekeringan panjang melanda sentra-sentra produksi padi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Debit irigasi merosot, tanaman menguning sebelum waktunya, dan hasil panen menurun signifikan. Dampaknya langsung dirasakan: harga beras naik sejak pertengahan 2023 dan belum benar-benar stabil sepanjang 2024.

Kenaikan harga pangan pokok tersebut mendorong banyak keluarga untuk melakukan penyesuaian. Protein hewani seperti ikan, ayam, atau telur mulai dikurangi. Sayuran segar dan buah diganti dengan pilihan yang lebih murah dan rendah Gizi. Rumah tangga berpenghasilan rendah menjadi kelompok yang paling terpukul. Mereka bukan tidak ingin menyediakan makanan bergizi; mereka hanya tidak mampu membelinya.

Fenomena pergeseran pola makan ini menciptakan apa yang dapat disebut sebagai “krisis gizi ekonomi”. Pangan tetap tersedia di pasar, tetapi akses masyarakat terhadap pangan sehat semakin terbatas. Ketika konsumsi protein dan sayuran menurun, risiko anemia, defisiensi mikronutrien, dan gangguan pertumbuhan anak semakin meningkat.

Kualitas Gizi Tanaman Menurun

Masalah tidak berhenti pada ketersediaan dan harga. Perubahan iklim juga memengaruhi kualitas gizi dalam tanaman pangan. Penelitian global menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi CO₂ di atmosfer yang merupakan pemicu utama krisis iklim menurunkan kandungan protein, zat besi, dan zinc dalam tanaman seperti padi, gandum, dan kedelai. Ini berarti masyarakat dapat mengonsumsi porsi yang sama, tetapi mendapat gizi lebih sedikit.

Fenomena ini dikenal sebagai “malnutrisi tersembunyi”. Bagi Indonesia yang tengah berjuang menurunkan angka stunting, fenomena ini merupakan tantangan baru yang sangat serius. Upaya fortifikasi dan suplementasi mungkin dapat membantu, tetapi jika kualitas pangan pokok terus menurun, maka akar persoalan gizi tidak akan terselesaikan.

Perikanan Tertekan, Akses Protein Semakin Sulit

Sektor perikanan, yang selama ini menjadi penyedia utama protein hewani bagi masyarakat Indonesia, juga merasakan dampak perubahan iklim. Pemanasan suhu muka laut mengubah pola migrasi ikan. Jenis ikan yang sebelumnya mudah ditemukan di sekitar pesisir kini bergerak ke wilayah yang lebih jauh dan lebih dalam.

Di pantai utara Jawa, Sulawesi, dan wilayah Nusa Tenggara, banyak nelayan melaporkan bahwa mereka harus melaut lebih jauh dengan biaya operasional yang lebih tinggi, sementara hasil tangkapan semakin tidak menentu. Kondisi ini menyebabkan pasokan ikan berkurang dan harga meningkat di pasar tradisional. Untuk banyak keluarga, ikan yang dulu menjadi sumber protein termurah tidak lagi terjangkau secara rutin.

Kondisi ini berdampak langsung pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Protein hewani, terutama dari ikan, merupakan sumber asam lemak omega-3 yang sangat penting bagi perkembangan otak. Ketika konsumsi protein menurun, risiko kekurangan gizi meningkat, meski negara ini memiliki lautan yang luas.

Lahan Pertanian Menghilang di Pesisir

Selain perubahan pola cuaca, naiknya permukaan laut juga menghancurkan lahan pertanian produktif di pesisir utara Jawa. Contoh paling nyata terlihat di wilayah Demak, Semarang, dan Pekalongan. Intrusi air asin membuat sawah tidak lagi bisa ditanami. Tanaman mati, tanah menjadi terlalu asin, dan akhirnya lahan berubah menjadi kolam atau genangan air.

Dalam satu dekade terakhir, ribuan hektare sawah menghilang. Banyak petani kehilangan mata pencaharian dan terpaksa bermigrasi. Ketika produksi lokal menurun, ketergantungan pada suplai dari daerah lain meningkat. Padahal, distribusi pangan kini semakin sering terganggu oleh bencana hidrometeorologi yang juga dipicu oleh perubahan iklim.

November 2025: Banjir dan Longsor Menghantam Aceh, Sumut, dan Sumbar

Bencana yang terjadi pada November 2025 menjadi pengingat betapa rapuhnya ketahanan pangan kita terhadap cuaca ekstrem. Curah hujan yang sangat tinggi menyebabkan banjir dan longsor di berbagai wilayah:

Aceh

Kabupaten Aceh Tamiang, Bireuen, dan Aceh Utara mengalami banjir besar. Ribuan rumah terendam, ribuan keluarga mengungsi. Lahan pertanian yang baru memasuki masa tanam rusak akibat genangan panjang. Akses jalan putus, distribusi logistik terhambat, dan harga sayuran melonjak.

Sumatera Utara

Di Langkat, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai, banjir dan longsor merusak sawah yang sudah mendekati masa panen. Di Medan dan Binjai, banjir perkotaan membuat distribusi pangan terganggu. Harga ikan naik tajam karena nelayan tidak dapat melaut selama berhari-hari.

Sumatera Barat

Banjir bandang menghantam Agam, Tanah Datar, dan Padang Pariaman. Longsor besar di jalur Padang–Bukittinggi memutus arus logistik. Sawah, kebun, dan peternakan rusak. Kehilangan pangan terjadi di tingkat rumah tangga, bukan hanya di tingkat produksi.

Dalam situasi darurat seperti ini, akses terhadap pangan bergizi menjadi tantangan nyata. Bantuan biasanya berfokus pada karbohidrat seperti beras dan mi instan, sementara kebutuhan gizi penting—protein, buah, sayur—justru semakin sulit dipenuhi. Anak-anak, ibu hamil, dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan terhadap efek lanjutan berupa penyakit infeksi, penurunan nafsu makan, dan risiko wasting.

Anak Menjadi Kelompok Paling Rentan

Jika dibiarkan, perubahan iklim dapat memperlambat atau bahkan membalikkan kemajuan Indonesia dalam menurunkan angka stunting. Jalur risikonya jelas:

  1. Ketersediaan pangan menurun → pilihan makan tidak beragam.
  2. Harga pangan bergizi naik → peningkatan konsumsi makanan murah dan rendah gizi.
  3. Bencana meningkat → penyakit infeksi pada anak lebih sulit dikendalikan.
  4. Pendapatan petani dan nelayan turun → daya beli melemah.

Dalam ekosistem yang saling menghubungkan ini, perubahan iklim menjadi ancaman terbesar terhadap kualitas gizi generasi mendatang.

Belajar dari Negara Lain

Masalah ini bukan milik Indonesia saja. Negara-negara lain juga mengalaminya:

  • Bangladesh kehilangan lahan pertanian akibat intrusi air asin dan menghadapi beban defisiensi mikronutrien.
  • India mengalami gelombang panas yang menurunkan produksi gandum dan meningkatkan harga pangan, memicu meningkatnya anemia.
  • Afrika Timur berkali-kali dihantam kekeringan ekstrem yang meningkatkan wasting pada balita.

Situasi-situasi tersebut menunjukkan bahwa perubahan iklim dan krisis gizi saling terkait, dan tidak ada negara yang kebal dari risiko tersebut.

Membangun Sistem Pangan yang Tangguh Iklim

Untuk mencegah krisis gizi berskala nasional, Indonesia perlu membangun sistem pangan yang tangguh terhadap perubahan iklim. Beberapa langkah strategis berikut dapat menjadi fondasi perubahan:

  1. Diversifikasi Pangan Lokal

Mengurangi ketergantungan pada padi dengan mengembangkan bahan pangan seperti sagu, talas, sukun, sorgum, dan berbagai umbi lokal. Tanaman-tanaman ini lebih tahan terhadap kekeringan dan perubahan cuaca ekstrem.

  1. Penguatan Perikanan Berkelanjutan

Perluasan budidaya ikan kecil bergizi tinggi, pengembangan rumput laut, serta perikanan adaptif berbasis ekosistem dapat memastikan pasokan protein tetap terjangkau.

  1. Fortifikasi dan Inovasi Pangan

Fortifikasi beras dan tepung dapat menutup kekurangan mikronutrien secara cepat. Inovasi protein alternatif—mikroalga, jamur, dan mungkin serangga pangan—dapat menjadi solusi jangka panjang.

  1. Adaptasi Pertanian

Varietas padi tahan kering dan tahan salinitas, irigasi efisien, pertanian presisi, serta praktik pertanian regeneratif harus menjadi prioritas nasional.

  1. Kebijakan Pangan Berbasis Risiko Iklim

Setiap kebijakan pangan dan gizi harus memasukkan analisis risiko iklim: dari produksi, distribusi, hingga stabilisasi harga. Tanpa pendekatan ini, program pangan akan selalu rentan terhadap cuaca ekstrem.

Penutup

Perubahan iklim bukan ancaman masa depan. Dampaknya terhadap gizi masyarakat Indonesia sedang berlangsung saat ini. Kenaikan harga beras, menurunnya pasokan ikan, rusaknya lahan pertanian pesisir, hingga bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada November 2025 adalah bukti nyata dari rapuhnya sistem pangan kita.

Jika tidak diantisipasi, Indonesia menghadapi risiko krisis pangan dan krisis gizi secara bersamaan. Namun kita masih memiliki peluang besar untuk bertindak: melalui diversifikasi pangan, inovasi teknologi, penguatan perikanan dan pertanian adaptif, serta kebijakan yang berpihak kepada kelompok rentan.

Krisis iklim mungkin sulit dihentikan sepenuhnya. Tetapi kita dapat memastikan bahwa ia tidak merenggut masa depan gizi generasi Indonesia. ***

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *