BERITASEMBILAN.Com-Makassar. Kemenangan Zohran Mamdani sebagai Wali Kota New York City menandai babak baru dalam sejarah politik Amerika Serikat. Di tengah riuhnya kontestasi dan gelombang retorika anti-imigran yang belum reda, sosok kelahiran Uganda ini tampil sebagai simbol perubahan — bukan hanya bagi umat Muslim, tapi juga bagi wajah baru demokrasi Amerika yang lebih inklusif.
Jejak Anak Imigran
Zohran Mamdani lahir di Kampala, Uganda, dari pasangan cendekiawan—Mahmood Mamdani, profesor di Columbia University, dan Mira Nair, sutradara film ternama asal India. Ia pindah ke New York saat berusia tujuh tahun. Sejak kecil, Mamdani tumbuh di lingkungan yang memadukan budaya, bahasa, dan identitas yang berlapis.
Di Bronx High School of Science, bakat intelektualnya menonjol. Kemudian, saat menempuh pendidikan di Bowdoin College di Maine, ia mengambil jurusan Kajian Afrika dan mendirikan cabang Students for Justice in Palestine, organisasi mahasiswa yang menyoroti isu keadilan global.
“Dari awal, saya belajar bahwa menjadi imigran bukan hanya tentang mencari tempat tinggal, tapi tentang berjuang agar tempat itu juga bisa menjadi rumah bagi orang lain,” ujarnya dalam wawancara dengan The Guardian.
Wajah Baru Progresivisme
Sebelum terjun ke politik, Mamdani bekerja sebagai konselor perumahan di Queens. Di sana, ia membantu keluarga berpenghasilan rendah melawan penggusuran — pekerjaan yang mempertemukannya langsung dengan denyut nyata kehidupan kelas pekerja New York.
Karier politiknya berangkat dari akar aktivisme. Ia dikenal aktif dalam gerakan sosial, terutama yang memperjuangkan keadilan ekonomi, perumahan layak, dan hak imigran. Baginya, politik bukanlah arena elite, melainkan alat perubahan sosial.
“Orang-orang sering mengatakan politik kotor. Tapi justru di sanalah kita harus masuk, karena jika yang bersih tak mau masuk, kotoranlah yang akan berkuasa,” katanya dalam sebuah forum komunitas di Queens.
Melintasi Bahasa dan Budaya
Kampanye Mamdani berbeda dari politisi konvensional. Ia merilis video kampanye berbahasa Urdu, diselingi cuplikan film Bollywood. Dalam video lainnya, ia berbicara bahasa Spanyol — sapaan langsung untuk komunitas imigran Latin yang besar di New York.
Strategi itu bukan sekadar simbolisme multikultural. Ia ingin menunjukkan bahwa politik bisa berbahasa manusia, bukan jargon.
“Ia berbicara seperti kita, dalam bahasa kita,” kata Jagpreet Singh, aktivis sosial dari organisasi DRUM, kepada BBC. “Zohran bukan hanya kandidat, tapi representasi harapan.”
Menantang Arus
Kemenangan Mamdani tidak datang tanpa badai. Ia menjadi sasaran serangan Presiden Donald Trump, yang menudingnya “membenci Yahudi” dan mengancam akan mengurangi dana federal untuk New York jika Mamdani menang.
“Setiap orang Yahudi yang memilih Zohran Mamdani adalah orang bodoh,” tulis Trump di platform medianya.
Tak berhenti di situ, pemerintah Israel juga bereaksi keras. Menteri Diaspora Israel, Amichai Chikli, menyebut Mamdani “pendukung Hamas” dan menyerukan warga Yahudi New York untuk pindah ke Israel.
Namun, dalam pidato kemenangannya di Brooklyn, Mamdani menanggapi dengan tenang — bahkan menyelipkan sindiran elegan untuk Trump.
“Jika ada yang bisa menunjukkan kepada bangsa yang dikhianati Donald Trump bagaimana cara mengalahkannya, maka itu adalah kota yang melahirkannya,” katanya, disambut sorak sorai pendukungnya.
Era Baru Telah Datang
Pidato kemenangan Mamdani terasa lebih seperti manifesto sosial. Ia berbicara tentang kelas pekerja, perjuangan imigran, dan kota yang menyambut semua orang — mulai dari pengantar makanan, ibu tunggal, hingga komunitas transgender.
“Sepanjang sejarah, tangan-tangan pekerja yang membangun kota ini tidak pernah diizinkan memegang kekuasaan. Hari ini, kita ubah itu,” ucapnya tegas.
Mamdani berjanji membangun pemerintahan yang “tidak menjual Islamofobia untuk menang.” Ia ingin menjadikan New York sebagai contoh kota yang berdiri di sisi kemanusiaan — membela hak Yahudi, Muslim, kulit hitam, Latin, dan semua kelompok yang terpinggirkan.
Sosok di Balik Citra Politik
Di luar politik, Mamdani adalah pribadi sederhana. Ia menikah dengan Rama Duwaji, seniman asal Suriah yang ditemuinya lewat aplikasi kencan Hinge. Mereka tinggal di Brooklyn, kawasan yang menjadi melting pot budaya dunia.
Dalam waktu luangnya, Mamdani masih menulis, bermain musik rap, dan sesekali membantu komunitas seniman lokal. “Kreativitas dan politik punya akar yang sama — keduanya menuntut empati,” katanya.
Simbol Harapan
Di masa ketika politik Amerika tengah terbelah, kemenangan Mamdani terasa seperti pernyataan moral: bahwa keragaman bukan ancaman, dan identitas bukan penghalang untuk memimpin.
Ia adalah representasi generasi baru politik Amerika — generasi yang tumbuh dengan media sosial, memahami bahasa lintas budaya, dan menolak dikotomi lama antara “kami” dan “mereka.”
“New York akan menjadi cahaya di masa kegelapan politik ini,” ujarnya menutup pidato kemenangannya.
Kalimat itu kini menggema jauh melampaui kota yang ia pimpin.
Profil Singkat Zohran Mamdani
- Nama: Zohran Kwame Mamdani
- Lahir: Kampala, Uganda
- Usia: 33 tahun
- Pendidikan: Bowdoin College, Maine (Kajian Afrika)
- Pekerjaan Sebelumnya: Konselor perumahan di Queens
- Istri: Rama Duwaji (seniman asal Suriah)
- Partai: Demokrat (Sayap Progresif)
- Garis Perjuangan: Keadilan sosial, hak imigran, dan solidaritas lintas agama


















