Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
SosialSosial

Dr Rudi Hardi M.Si: Dosen PTS Bukan Kelas Dua, Mereka Juga Layak Tukin

×

Dr Rudi Hardi M.Si: Dosen PTS Bukan Kelas Dua, Mereka Juga Layak Tukin

Share this article
Example 468x60

BERITASEMBILAN.Com-Makassar. Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan IP, Fisip Unismuh Makassar, Dr Rudi Hardi, M.Si  menyampaikan pernyataan resmi terkait urgensi pemberian Tunjangan Kinerja (Tukin) bagi dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) non-ASN.

Menanggapi kebijakan pemerintah yang akan mencairkan Tukin bagi dosen ASN di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mulai Juli 2025, Dr. Rudi Hardi, M.Si kepada media Jumat 18 April 2025  menyebut kebijakan ini berpotensi diskriminatif secara struktural jika tidak diikuti dengan kebijakan serupa bagi dosen PTS.

Example 300x600

Apakah negara hanya mengakui kinerja dosen negeri? Dosen swasta juga berkeringat demi mencerdaskan bangsa, tapi terus dikesampingkan dari hak-hak insentif. Ini bukan hanya soal gaji—ini soal keadilan akademik dan martabat profesi,  tegasnya.

Menurutnya, ribuan dosen di PTS bekerja dalam keterbatasan, tetapi tetap menghasilkan luaran tridarma perguruan tinggi. Negara, lanjutnya, tidak boleh terus menerus mengabaikan kontribusi riil yang lahir dari sektor swasta dalam pendidikan tinggi.

Jika negara terus mengabaikan keadilan dalam pemberian insentif, khususnya kepada para pendidik, maka jangan heran jika pendidikan nasional terjerumus ke dalam jurang stagnasi, bahkan kemunduran.

Ketika dosen dan guru swasta—yang bekerja sekeras dan sekomitmen para ASN—diperlakukan sebagai warga kelas dua, negara secara tidak langsung sedang membunuh semangat meritokrasi dan menumbuhkan feodalisme baru dalam dunia pendidikan, katanya.

Apakah layak sebuah sistem pendidikan yang katanya unggul dan berdaya saing global, tetapi menyisakan ketimpangan struktural dalam penghargaan terhadap tenaga pendidik? Bayangkan, bagaimana kita bisa menuntut kualitas riset, inovasi, dan pengabdian masyarakat dari dosen yang harus berjuang sendiri, tanpa jaminan insentif yang adil dan setara?, tandasnya.

Negara yang mengabaikan keadilan insentif sama saja sedang mencetak kegagalan sistemik: memelihara ketimpangan, merawat diskriminasi, dan menggali kubur bagi masa depan pendidikan itu sendiri.

Jangan bicara soal transformasi digital atau kampus merdeka jika pada dasarnya kita belum merdeka dari ketidakadilan. Saat keadilan tak lagi menjadi fondasi, maka pendidikan hanya akan menjadi proyek elitis yang melayani segelintir, bukan bangsa secara utuh, katanya.

Pendidikan tidak akan pernah maju jika tenaga pendidiknya diperlakukan secara diskriminatif. Sudah saatnya negara membuka mata: keadilan insentif bukan soal belas kasihan, tetapi soal keberpihakan pada masa depan bangsa.

Dalam perspektif Ilmu Pemerintahan, dia menegaskan bahwa insentif kinerja adalah instrumen penting dalam tata kelola publik, dan tidak boleh hanya diberikan berdasarkan status kepegawaian, tetapi berdasarkan luaran kerja dan kontribusi terhadap pembangunan sumber daya manusia nasional.

Sebagai bentuk tanggung jawab akademik, Dr. Rudi menyampaikan tiga rekomendasi kunci: Rancang skema nasional Tunjangan Kinerja berbasis luaran tridarma yang dapat diakses dosen PTS non-ASN.

Bangun sistem evaluasi kinerja yang nasional, adil, dan objektif, tanpa diskriminasi terhadap jenis institusi. Libatkan PTS dalam proses formulasi kebijakan pendidikan tinggi, sebagai mitra strategis, bukan hanya pelaksana.

Ini saatnya kita berhenti membedakan antara dosen negeri dan swasta. Yang kita butuhkan adalah ekosistem akademik yang adil, kompetitif, dan memanusiakan tenaga pendidik tanpa label kelas!, tegasnya. ***

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *