MAKASSAR. Gaji dosen swasta yang rendah sempat mendapat sorotan. Laporan Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyebut dosen di universitas swasta jauh lebih rentan terhadap gaji rendah di bawah UMR.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan, bahwa hal itu tidak terlepas dari fakta bahwa mayoritas kampus swasta tidak memiliki sumber daya yang cukup.
Ia memaparkan, kebanyakan kampus swasta hanya memiliki mahasiswa di bawah 1.000, bahkan ada yang di bawah 500.
“SPP rata-rata swasta itu Rp.2,4 juta per semester. Bagaimana mungkin dia bisa menggaji dosen dengan baik dengan kondisi semacam itu?” ujar Budi Djatmiko awal Juli 2024 seperti di kutip dari portal mediaindonesia.com.
Ia menyebut kampus-kampus swasta bergengsi dengan uang kuliah di atas Rp. 20 juta tidak sampai 10 persen dan hanya ada di kota-kota besar.
“Jadi kalau kita mengandalkan dari yayasan tidak mungkin karena uang kuliahnya murah. Kalau mau dimahalkan gak ada orang yang mau kuliah (di kampus swasta),” tegas Budi.
Ia menyampaikan bahwa jumlah mahasiswa swasta relatif sedikit karena tergerus oleh perguruan tinggi negeri. Padahal, penghasilan dosen swasta akan dipengaruhi jumlah mahasiswa dan pembiayaan SPP-nya.
Oleh karena itu, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi yang saat ini tengah digodok pemerintah, Aptisi mengusulkan soal pembagian tugas kampus negeri dan swasta.
“Perguruan tinggi negeri bertugas untuk menaikkan kualitas, swasta boleh memilih, mau menaikkan kualitas, berarti mahasiswanya sedikit atau mengutamakan kuantitas, mahasiswanya banyak,” kata Budi.
Ia menyarankan agar perguruan tinggi negeri fokus untuk menjadi perguruan tinggi riset agar masuk jajaran teratas universitas kelas dunia (world class university).
“Perguruan tinggi kita tidak ada yang masuk 10 besar world class university, kita di angka 300-an. Mestinya pemerintah yang baru bertekad, perguruan tinggi negeri itu jangan menjadi pukat harimau, menerima banyak sekali mahasiswa,” ungkapnya.
“World class university itu risetnya harus banyak, harus menjadi research university. Universitas riset itu cirinya rasio dosen dan mahasiswanya 1:4,” imbuhnya.
Di sisi lain, kata Budi, penghasilan dosen swasta sebenarnya bisa terbantu dengan sertifika dosen. Namun, kesempatannya tidak seterbuka dosen negeri.
“Kalau dosen negeri kan dengan sendirinya dapat langsung (sertifikasi). Kalau dosen swasta (menunggu) antrean sesuai dengan kondisi keuangan (anggaran pemerintah),” ujar Budi.
“Jadi sebenarnya kalau dosen swasta mendapat sertifikasi dosen itu lumayan. (Tunjangan) sertifikasi dosen kan paling rendah Rp2,5 juta. Kalau dia mendapatkan (gaji) dari yayasan Rp.2,5 juta, sudah Rp.5 juta,” imbuhnya.
Namun kenyataannya, kata Budi, tidak semua dosen swasta mendapatkan sertifikasi karena alokasi dana pendidikan untuk Kemendikbud-Ristek terbatas.
“ Rp. 665 triliun (anggaran pendidikan) itu kan alokasinya 52 persen transfer daerah dan dana desa. Untuk Kemendikbud-Ristek cuma 15 persen atau Rp.98 triliun. Itu jauh sekali dari apa yang mestinya uang itu masuk ke pendidikan,” kata dia.
Padahal apabila pemerintah mau menitikberatkan anggaran pendidikan itu untuk fungsi pendidikan di bawah Kemendikbud-Ristek, Budi meyakini sertifikasi bisa diberikan kepada semua dosen.
“20 persen anggaran harus dikembalikan ke pendidikan, nanti akan tercukupi (sertifikasi dosen). Di negara-negara maju itu dosen negeri maupun swasta mendapatkan sertifikasi dari pemerintah,” pungkasnya. ***