Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini Buku

Mappinawang, LPA Sulsel, dan Advokasi Perlindungan Anak

24
×

Mappinawang, LPA Sulsel, dan Advokasi Perlindungan Anak

Share this article
Example 468x60

Oleh: Rusdin Tompo (Pengurus LPA Sulsel, periode 1998-2001 & 2001-2004)

Tahun 2004. Kala itu, merupakan pengujung masa kepengurusan Prof Dr H Mansyur Ramly, SE, MBA, sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. Namun sebelum berakhirnya masa kepengurusan beliau, dibentuk steering committee, sebagai tim pengarah dalam pelaksanaan suksesi, salah satu LPA pertama di Indonesia itu.

Example 300x600

Prof Mansyur Ramly merupakan Ketua LPA Sulsel, dua periode (1998-2001 & 2001-2004). Sebagai ketua pertama, peran beliau sangat krusial dalam meletakkan fondasi bagi keberhasilan LPA Sulsel melakukan advokasi perlindungan anak. Jejaring dan ketokohannya sebagai Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, kala itu, berkontribusi positif bagi kinerja LPA.

Dukungan aktivis avant-garde di masanya–sebagai pengurus LPA–seperti Asmin Amin (Lembaga Mitra Lingkungan/LML) Mappinawang (Lembaga Bantuan Hukum/LBH), Christina Joseph (Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia/LBH-P2i), Mulyadi Prayitno (Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat/YKPM), Salahuddin Alam (Yayasan Samudra Indonesia/Yasindo), dan Selle KS Dalle (Yayasan Pabbata Ummi/Yapta-U), juga ikut mengatrol kinerja lembaga payung ini.

Termasuk dari kalangan birokrat dan akademisi yang punya reputasi mentereng, semisal Jamaluddin Santo dan Prof Sugira Wahid, serta nama-nama tenar lain.

Salahuddin Alam dan saya diberi mandat oleh pengurus sebagai steering committee. Aktivis yang lembaganya memberikan pendampingan bagi pengamen di Pantai Losari ini, mengajak saya ke Hotel Victoria Panghegar (sekarang Hotel Horison) di Jalan Jenderal Sudirman, Makassar, untuk mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan sebagai tim pengarah.

Singkat cerita, musyawarah pengurus LPA Sulsel diadakan di Wisma PKBI Jalan Landak Baru (sekarang Jalan Andi Djemma). Pada saat itulah, Mappinawang terpilih secara demokratis, sebagai Ketua LPA Sulsel,menggantikan Prof Mansyur Ramly.

Kak Mappi, begitu pria berkumis itu akrab disapa, tak hanya jadi Ketua LPA Sulsel untuk periode 2004-2007. Malah oppo sebagai ketua untuk periode keduanya, tahun 2007-2010. Setelah itu, beliau digantikan Fadiah Machmud, yang sejak awal pembentukan LPA Sulsel, merupakan Office Manager dan Ketua Harian.

Saya mengenal Kak Mappi sebelum saya jadi bagian dari kepengurusan LPA Sulsel. Saya merupakan reporter Radio Bharata FM, yang kerap mewawancarai Kak Mappi, baik di kantornya di Jalan Dr Sam Ratulangi, maupun saat ada kegiatan di luar. Kak Mappi sebagai narasumber kritis, banyak menyorot persoalan hukum, HAM, demokrasi dan isu-isu keras lainnya.

Boleh dikata, advokat asal Selayar ini, merupakan media darling. Statement-nya disukai media. Dia sangat vokal, dengan argumentasi yang mudah dipahami. Suaranya kalau di radio punya warna khas. Intonasinya jelas dan tegas.

Bantuan hukum struktural sebagai fokus LBH, menjadi magnet bagi media massa yang menempatkan beliau sebagai narasumber. Apalagi bagi media-media yang hendak menyuarakan berbagai bentuk ketidakadilan oleh pemerintahan Orde Baru, yang dikenal otoriter dan represif.

Kak Mappi mengemban tugas sebagai Direktur LBH Makassar, sejak tahun 1997 sampai dengan 2004. Pada malam, ketika Kak Mappi dilantik, saya menghadiri prosesinya di Hotel Makassar City (sekarang Hotel Novotel).

Kak Mappi menggantikan Nasiruddin Pasigai, SH, Direktur LBH Makassar, periode 1993-1996. Kak Nas ini juga kerap saya wawancarai, ketika LBH masih beralamat di Jalan Veteran Selatan.

Sekadar informasi, sebelum terpilih, Kak Mappi bersaing dengan Sarifuddin Sudding, yang nanti memimpin PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia) Sulawesi Selatan. Belakangan, kita mengenal Sarifuddin Sudding sebagai politisi dan anggota DPR RI.

Saya ingat, tadinya hanya bermaksud meliput acara pelantikan itu, tapi malah diajak ikut makan malam selepas itu. Beruntung, saya bergabung, dan bisa berada di antara para tokoh, di antaranya Adnan Buyung Nasution, Zohra Andi Baso, Nasiruddin Pasigai, dan Mappinawang.

[20.25, 22/2/2025] Rusdin Tompo Tompo: Malam itu kami menyantap aneka menu, antara lain ikan dan cumi goreng tepung, di salah satu rumah makan di bilangan Boulevard, Panakkukang Mas. Momen ini saya ingat, sebagai salah satu kerja jurnalistik saya merawat jejaring dengan narasumber.

Peran Kak Mappi sebelum didapuk sebagai Ketua LPA Sulsel, cukup penting. Beliau berada di Bidang Pelayanan bersama Ilham Djafar (BKKBN), Andi Faridah, Rosnah (Polda Sulsel), dan Salahuddin Alam.

Salah satu kontribusinya ketika kami bersama-sama melakukan advokasi akta kelahiran gratis. Peristiwa bersejarah itu terjadi sehari sebelum peringatan Hari Anak Nasional (HAN), 23 Juli 2002, di Hotel Marannu (sekarang Hotel Singgasana) di Jalan Sultan Hasanuddin.

Malam tanggal 22 Juli itu, saya ikut dalam pertemuan yang dihadiri Wali Kota Makassar (periode 1999-2004) HB Amiruddin Maula. Wali kota didampingi penasihat hukumnya, A Rudiyanto Asapa, SH, LLM (Direktur LBH Makassar, 1986-1989 & 1989-1992).

Diskusi berlangsung hangat, seputar pentingnya pencatatan kelahiran sebagai pengakuan legal pertama negara pada seorang anak. Mengemuka pula gambaran betapa pentingnya pencatatan kelahiran sebagai statistik vital dan perencanaan pembangunan. Belum lagi bila dihubungkan dengan isu anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (CNSP).

Wali kota malam itu juga menyatakan akan membuat regulasi sebagai terobosan untuk memenuhi hak anak dan demi kepentingan terbaik anak. HB Amiruddin Maula, saya yakin malam itu hadir berkat jejaring LBH.

Wali kota dilobi melalui Andi Rudiyanto Asapa, oleh Mappinawang dan Christina Joseph, yang sama-sama bernasab advokat. Selain mereka, malam itu ikut dalam diskusi, yakni Purwanta Iskandar (Kepala Perwakilan UNICEF Sulsel) dan AJ Sudarto (Kepala PLAN International PU Makassar.

Fadiah Machmud dan saya, serta M Ghufran H Kordi K dari Yapta-U juga hadir. Saya dan Ghufran merupakan orang yang paling sering menulis isu akta kelahiran di media cetak, kala itu.

Pertemuan ini ikut mempercepat terbitnyan Keputusan Wali Kota Makassar Nomor: 690/Kep/474.1/2002 tentang Pembebasan Biaya Penerbitan Akta Kelahiran, Pengesahan dan Pengakuan Anak di Bawah Pengampuan/Perwalian Negera. SK yang dinilai sebagai kado di HAN 2002 itu, menempatkan Makassar dan Sulsel sebagai pioner dalam advokasi akta kelahiran di Indonesia.

Mengapa? Sebab saat itu pengurusan akta kelahiran masih jadi target PAD (Pendapatan Asli Daerah). Regulasinya juga, kala itu, masih merupakan peninggalan kolonial yang sangat diskriminatif. Ketentuannya merujuk pada Staatsblad Tahun 1920 Nomor 751, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 564, Staatsblad Tahun 1933 Nomor 74, dan Staatsblad Tahun 1936 Nomor 607.

Ketika Mappinawang menjadi komisioner di KPU Sulawesi Selatan, beliau merupakan bagian dari jejaring LPA Sulsel. Beliau banyak membuka ruang bagi kami selama mengadvokasi isu anak dalam kampanye.

Beliau tercatat sebagai Ketua KPU Sulsel, periode 2004-2009. Kak Mappi menggantikan Aidir Amin Daud, jurnalis senior yang juga sahabatnya.

Kami di LPA, kerap bersuara keras, mendesak partai-partai agar anak-anak tidak diajak dalam kampanye. Apalagi, saat itu masih ada konvoi, dan bentuk pengerahan massa lainnya, terutama dalam rapat akbar. LPA Sulsel menilai, pelibatan anak-anak seperti itu merupakan eksploitasi anak dalam politik. (*)

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *