BERITASEMBILAN.Com-Makassar. Pada sebuah lereng sunyi di Desa Maindo, Kecamatan Bassesangtempe Utara, Kabupaten Luwu, berdiri sebuah sekolah sederhana bernama SMP Negeri 1 Sanggalangi Satu Atap.
Dari luar, bangunannya mungkin tampak biasa. Namun, di dalamnya ada kisah luar biasa tentang ketulusan, keberanian, dan kepemimpinan seorang perempuan tangguh bernama Esther Paudang, S.Pd — sosok yang dengan segala keterbatasan, terus menyalakan lentera pendidikan di ujung negeri.
Sosok Esther Kepala SMP Negeri 1 Sanggalangi Satu Atap, menjadi salah satu peserta yang menginspirasi pada ajang final Anugerah Guru Prima (AGP) PGRI Sulsel 2025 yang digelar di BBGTK Makassar, Senin 3 Nopember 2025.
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastera Indonesia STKIP Cokroaminoto Palopo 1995 Membawakan karya inovasi bertajuk “Kepemimpinan, Inovasi dan Menumbuhkan Jiwa Pembelajaran di Era Digital Daerah Sangat Terpencil,” Esther menghadirkan kisah nyata perjuangan dan kepemimpinan pendidikan dari pelosok Kabupaten Luwu.
Perjalanan Panjang ke Sekolah di Langit Luwu
Untuk mencapai sekolah tempatnya mengabdi, wanita kelahiran Lamasi 1 September 1970 ini harus menempuh perjalanan sejauh 36 kilometer dari kota terdekat. Medannya bukan jalan beraspal mulus, melainkan tanjakan dan turunan terjal yang berbatu. Di musim hujan, jalan berubah menjadi lumpur, dan satu-satunya cara untuk mencapai sekolah gunakan ojek motor profesional.
“Kadang saya harus berangkat pagi buta agar bisa tiba di sekolah sebelum bel berbunyi. Pernah jatuh dari motor, pernah cedera tangan, tapi kalau ingat anak-anak yang menunggu, semua lelah itu hilang,” tutur Esther dengan senyum tenang, mengenang perjalanan yang kini telah menjadi bagian dari rutinitasnya.
Saat pertama kali ditugaskan pada tahun 2015, jumlah siswa di SMPN 1 Sanggalangi Satu Atap hanya 12 orang. Semua guru masih berstatus honorer, dan dana operasional sekolah hanya Rp3 juta per tiga bulan, bahkan tanpa dana BOS karena administrasi sekolah belum lengkap. “Saya adalah satu-satunya ASN di sana. Merangkap kepala sekolah, guru, bendahara, bahkan kadang tukang kebun,” kenangnya sambil tersenyum.
Menyalakan Inovasi dari Keterbatasan
Keterbatasan tidak membuat Esther menyerah. Sebaliknya, dari keterbatasan itulah lahir berbagai inovasi pembelajaran berbasis kearifan lokal yang kini menjadi model inspiratif di kalangan guru daerah terpencil.
Dia menggagas program “LENTERA DESA”, akronim dari Literasi dan Edukasi Numerasi Terpadu, Eratkan Relasi Anak dengan Ekosistem Alamnya. Konsep ini sederhana namun berdampak besar — menjadikan alam sebagai ruang belajar dan kehidupan masyarakat sebagai laboratorium pendidikan.
Melalui LENTERA DESA, Esther dan guru-gurunya mengajak siswa belajar matematika dengan mengukur luas kebun, memahami ekonomi dari hasil panen, serta mengenal literasi lingkungan melalui pengamatan alam. “Kami belajar menghitung hasil jagung, memprediksi cuaca, menulis cerita dari pengalaman di kebun. Anak-anak jadi paham bahwa belajar itu tidak harus di kelas,” ujarnya.
Selain pembelajaran kontekstual, Esther juga menumbuhkan semangat kolaborasi dengan warga sekitar. Ia melibatkan orang tua, petani, dan tokoh adat sebagai guru tamu dalam kegiatan sekolah. “Ketika orang tua terlibat, anak-anak lebih semangat. Mereka merasa bangga karena sekolah menghargai kehidupan mereka,” tambahnya.
Menumbuhkan Jiwa Kepemimpinan dari Pelosok
Esther tidak hanya memimpin sekolah, tetapi juga menumbuhkan jiwa kepemimpinan pada guru dan siswa. Ia meluncurkan program Gerakan Mentor Siswa, di mana siswa kelas 9 menjadi pendamping belajar bagi adik kelasnya. Program ini melatih tanggung jawab, empati, dan kepemimpinan di kalangan remaja.
Sementara bagi para guru, Esther menekankan pentingnya pembelajaran kolaboratif dan reflektif. Ia mendorong rekan-rekannya mengikuti pelatihan daring, program guru penggerak, dan berbagi praktik baik antar sekolah. “Guru di daerah terpencil bukan berarti harus tertinggal. Justru kami harus jadi pelopor perubahan,” katanya penuh keyakinan.
Semangat itulah yang kemudian membawa sekolahnya menjadi lebih hidup. Jumlah siswa bertambah, angka putus sekolah menurun drastis, dan partisipasi masyarakat meningkat. Sekolah kini menjadi pusat kegiatan literasi desa, tempat anak-anak, orang tua, dan warga berkumpul setiap pekan untuk membaca, menulis, dan berbagi pengetahuan.
Digitalisasi dari Pedalaman
Meski jauh dari akses internet cepat, Esther tetap membawa semangat pembelajaran digital ke sekolahnya. Dengan memanfaatkan ponsel pribadi dan jaringan terbatas, ia memperkenalkan literasi digital dasar kepada siswa. “Kami tidak ingin anak-anak tertinggal dari dunia digital. Mereka harus tahu cara menggunakan teknologi secara bijak,” ujarnya.
Ia juga mengajarkan penggunaan aplikasi sederhana seperti Canva dan Google Docs untuk tugas-tugas sekolah, serta mengenalkan konsep keamanan digital. Dalam keterbatasan fasilitas, Esther tetap membuktikan bahwa transformasi digital bukan soal alat, tetapi soal niat dan komitmen untuk belajar.
Kepemimpinan yang Menginspirasi
Kepemimpinan Esther Paudang adalah kepemimpinan yang melayani dan memberdayakan. Ia tidak hanya memimpin dengan perintah, tetapi dengan keteladanan dan kasih. Setiap pagi, ia menyapa siswa satu per satu, mendengarkan cerita mereka, dan memastikan setiap anak merasa dihargai.
“Di sini, saya belajar bahwa menjadi pemimpin berarti mau mendengarkan. Anak-anak kami bukan sekadar murid, mereka adalah masa depan yang harus disayangi,” ucapnya lirih.
Perjuangannya kini mulai mendapat perhatian luas. Tahun 2025, Esther menjadi salah satu peserta Anugerah Guru Prima PGRI Sulsel, membawa karya inovasi bertajuk “Kepemimpinan, Inovasi, dan Menumbuhkan Jiwa Pembelajaran di Era Digital Daerah Sangat Terpencil.”
Karyanya menggambarkan bukan hanya praktik kepemimpinan di lapangan, tetapi juga nilai kemanusiaan yang mengakar — bagaimana seorang guru menjadi jembatan harapan di tempat yang sering terlupakan.
Mengubah Kesunyian Menjadi Harapan
Kini, SMP Negeri 1 Sanggalangi Satu Atap bukan lagi sekadar sekolah di pegunungan terpencil. Ia telah menjelma menjadi oase pendidikan, tempat anak-anak menulis cita-cita dan guru menumbuhkan makna pengabdian.
Esther sendiri tidak pernah berhenti bermimpi. Ia ingin suatu saat sekolahnya memiliki laboratorium kecil, perpustakaan digital, dan asrama sederhana bagi siswa yang tinggal jauh di pelosok. “Saya tidak bisa menjanjikan banyak, tapi saya percaya, setiap langkah kecil bisa mengubah masa depan anak-anak,” katanya dengan mata berbinar.
Dalam setiap langkah kakinya yang menapaki jalan berbatu menuju sekolah, Esther membawa lebih dari sekadar buku dan rencana pelajaran. Ia membawa cahaya harapan — cahaya yang lahir dari ketulusan seorang guru di ujung negeri, yang memilih untuk tetap tinggal, berjuang, dan menyalakan lentera pendidikan dari tempat yang paling sunyi. ***



							














