BERITASEMBILAN.Com-MAKASSAR. Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto telah dilantik Senin 21 Oktober 2024. Kemendikbudritek yang sebelumnya dipimpin Menteri berlatar bisnis, Nadiem Makarim, dalam kabinet baru ini kembali di pimpin akademisi dari kampus di dalam negeri dan luar negeri.
Satryo Soemantri Brodjonegoro dilantik sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, akademisi dari ITB didampingi dua wakil menteri Stella Christie dari luar negeri dan Fauzan dari Universitas Muhammadiyah Malang.
Kemendiktisaintek adalah salah satu dari tiga kementerian baru hasil pengembangan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo periode 2019-2024.
Dua kementerian baru lainnya adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, serta Kementerian Kebudayaan.
Seperti dikutip dari portal theconversation.com, Sabtu 26 Oktober 2024 menegaskan penunjukkan ketiga akademisi ini membawa harapan baru dalam dunia pendidikan tinggi, sains, dan teknologi, mengingat kementerian yang menaungi dipimpin oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya.
Apakah mereka memang kombinasi yang ideal untuk memimpin Kemendiktisaintek selama lima tahun ke depan? Apakah kehadiran kementerian baru ini juga dapat menjawab berbagai tantangan dalam pendidikan tinggi serta pengembangan sains dan teknologi di Indonesia?
Sinergi tiga akademisi
Satryo Soemantri Brodjonegoro bukanlah orang asing di dunia pendidikan serta sains dan teknologi di Indonesia. Putra dari Soemantri Brodjonegoro—Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1973—ini pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi periode 1999-2007 dan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) periode 2018-2023.
Ia juga dikenal sebagai penggagas otonomi kampus dengan konsep PTN BH milik negara. Saat menjabat Ketua AIPI, ia menjadi perancang utama lembaga pendanaan riset independen, seperti Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) serta Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
Dengan rekam jejak yang solid, kemampuan Satryo dalam membuat kebijakan dan pengelolaan pendidikan tinggi serta sains dan teknologi sepertinya tidak perlu diragukan lagi.
Sementara itu, Stella Christie sebagai wakil menteri bisa banyak membantu Satryo dalam perspektif pendidikan tinggi dan riset internasional berkualitas.
Sebagai akademisi yang memiliki pengalaman mengajar dan meneliti di berbagai kampus ternama di Amerika Serikat (AS) dan Cina, Stella bisa membantu mewujudkan mimpi perguruan tinggi Indonesia masuk dalam Top 100 di dunia.
Kehadiran Stella juga menjadi sinyal kuat kemungkinan peningkatan kerja sama pendidikan tinggi dan penelitian antara Indonesia dan Cina, mengingat posisi terakhirnya sebagai guru besar di Tsinghua University
Sementara itu, Fauzan, yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Malang membawa pengalaman dalam pengelolaan universitas, manajemen pendidikan, dan pembenahan kurikulum.
Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang pedagogi, kita berharap Fauzan mampu memperbaiki sistem pendidikan tinggi Indonesia, terutama dalam penataan kurikulum dan proses pembelajaran yang sesuai dengan tantangan zaman.
Berdasarkan paparan di atas, kombinasi ketiganya terlihat ideal dan saling melengkapi.
Pemisahan fungsi kementerian
Pemisahan fungsi Kemendiktisaintek dari Kementerian Pendidikan sebenarnya bukanlah hal baru.
Pada periode pemerintahan Presiden Jokowi periode 2014-2019, fungsi ini juga pernah dipisahkan dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengurus pendidikan tinggi, sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan fokus pada pendidikan dasar dan menengah.
Namun, pada periode 2019-2024, keduanya digabung kembali.
Menurut saya, pemisahan fungsi ini memang diperlukan untuk mendorong peran pendidikan tinggi dalam pengembangan sains dan teknologi yang bisa memberikan dampak ekonomi dan sosial kepada masyarakat.
Penggabungan koordinasi pendidikan tinggi dengan pengembangan sains dan teknologi (lewat aktivitas riset di berbagai lembaga riset non-universitas) telah terbukti berhasil di beberapa negara.
Jerman, misalnya, menjadi salah satu negara paling produktif dalam menghasilkan riset berkualitas
sejak menerapkan penggabungan koordinasi tersebut.
Sebagian besar universitas di Jerman memiliki kapasitas melakukan riset riset dasar yang dibutuhkan oleh industri. Riset dasar ini, mungkin belum tentu langsung aplikatif, tetapi memberikan fondasi penting bagi riset terapan di masa depan.
Penelitian tersebut kemudian diselaraskan dengan kegiatan lembaga-lembaga riset non-universitas, seperti Max Planch Society dan Helmholtz Association yang berfokus pada riset dasar dan terapan.
Lain halnya dengan Singapura, yang justru memisahkan koordinasi pendidikan tinggi dan riset.
Kementerian Pendidikan singapura bertanggung jawab atas pendidikan tinggi, sementara National Research Foundation (NRF) menangani koordinasi riset.
Meski berbeda dengan Jerman, pendekatan ini juga sukses menjadikan Singapura sebagai pusat pendidikan dan riset terdepan.
Dalam konteks Indonesia, menggabungkan koordinasi pendidikan tinggi dan riset bisa jadi pilihan terbaik saat ini. Sebab, dengan langkah ini, universitas bisa lebih banyak menghasilkan riset berkualitas yang diselaraskan dengan kebutuhan industri dan kegiatan lembaga riset lainnya.
Keberadaan Kemendiktisaintek juga diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah ekosistem riset di Indonesia, seperti belum banyaknya universitas riset yang memiliki otonomi penuh untuk menjalankan proses pendidikan dan penelitian.
Penguatan koordinasi dan infrastruktur
Untuk memperkuat koordinasi pendidikan tinggi dengan pengembangan sains dan teknologi, beberapa universitas di Indonesia bisa menjadi perintis universitas riset (research university) yang memiliki otonomi luas dalam hal formulasi kurikulum, pendanaan, dan pengelolaan aset.
Dengan begitu, mahasiswa pascasarjana bisa lebih terlibat dalam riset, sementara universitas bisa merekrut peneliti postdoktoral untuk mendukung proyek riset jangka panjang. Dengan strategi ini, budaya riset akan berkembang, sehingga akan banyak generasi muda yang menjadi ilmuwan unggul.
Penggabungan koordinasi ini juga akan membantu mempercepat pengembangan infrastruktur riset di universitas. Pada pemerintahan sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi lembaga utama dalam pengembangan sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, prioritas pembangunan infrastruktur riset di universitas tampak terabaikan.
Karena itu, pemerintah perlu membuat peraturan presiden yang baru untuk mengatur ulang kewenangan BRIN agar kegiatan BRIN dan Kemendiktisaintek bisa lebih selaras.
Terlepas dari berbagai polemik, masyarakat menantikan peningkatan kualitas pendidikan tinggi serta pengembangan sains dan teknologi di Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto telah memberikan fondasi yang cukup untuk memulai perubahan ini dengan menunjuk personel yang kompeten dan menata ulang kelembagaan.
Sisanya, kita perlu memberi waktu agar Kemendiktisaintek bisa membuktikan perannya dalam membangun masa depan pendidikan tinggi dan riset Indonesia yang berkualitas. ***