Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
AB Iwan Azis mengaku bukanlah orang yang punya kehebatan tertentu. Namun, dia punya nalar dan kepedulian, yang membuatnya mampu berpikir kritis, sehingga fasih menyampaikan apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
“Saya bersuara karena ada kepentingan publik yang mesti disampaikan,” tegas Iwan Azis, dalam obrolan siang di Warkop Azzahrah, Jalan Abdullah Dg Sirua, Makassar, Sabtu, 14 Desember 2024.
Dia mengaku sering jadi narasumber sejumlah media massa, baik cetak, radio maupun televisi, dalam berbagai kapasitas. Dia antara lain, pernah diwawanvarai oleh TVRI Sulawesi Selatan, Celebes TV, Radio Mercurius FM dan Radio SPFM.
Lelaki berusia 78 tahun ini memang punya banyak banyak pengalaman. Dia pernah bergabung dalam organisasi Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Asosiasi Pengusaha Reklame Indonesia (ASPRI). Pernah pula melakoni profesi sebagai jurnalis, dan sebagai aktor film layar perak.
“Saya punya kemampuan berkomunikasi yang cukup baik, dengan membuat istilah-istilah yang menarik untuk media,” katanya tanpa bermaksud jemawa.
Dia memang pantas diminta komentar dan tanggapannya karena pengalaman dan pengetahuannya terbilang luas. Apalagi bila berkaitan dengan urusan RT/RW, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM).
Bayangkan saja, dia sudah jadi Ketua RW di Kelurahan Karangpuang, Kecamatan Panakkukang, selama lebih tiga dekade. Sementara jabatan sebagai Ketua LPM diemban dalam tiga era Wali Kota Makassar berbeda. Bahkan pernah dia rangkap jabatan, sebagai Ketua RW dan Ketua LPM sekaligus.
Iwan Azis pertama kali jadi Ketua LPM pada masa Wali Kota Makassar, Baso Amiruddin Maula (1999-2004). Lalu di era Ilham Arief Sirajuddin (dua periode, yakni 2004-2009 & 2009-2014). Kemudian pada masa Mohammad Ramdhan Pomanto, khususnya pada periode pertama (2014-2019).
“Saya itu, tidak banyak orang yang peduli pada lembaga-lembaga tersebut. Tidak menarik. Sekarang baru jadi rebutan. Karena sudah ada insentifnya,” jelas Iwan Azis ikhwal kedudukan RT/RW di masa Danny Pomanto yang diberi insentif.
Insentif sebesar 1,2 juta rupiah diberikan kepada Ketua RT/RW bila mampu memenuhi beberapa indikator, seperti Lorong Wisata, Bank Sampah, Retribusi Sampah, target PBB, Sombere and Smart City, dan Buku Administrasi RT/RW. Selain itu mesti memenuhi indikator deteksi dini kerawanan sosial, deteksi dini kerawanan bencana dan data penduduk non permanen.
Skema insentif ini, berdasarkan Peraturan Wali Kota Makassar Nomor 3 tahun 2024. Dengan demikian, sebanyak 5.974 RT dan 996 RW mesti memenuhi sembilan indikatot tersebut bila akan mendapat insetif. Penilaian terhadap mereka langsung dilakukan oleh lurah dan camat setempat.
“Tentu saja kinerja Pemkot Makassar sangat terbantu melalui strategi ini,” papar Iwan Azis, yang masih menjabat sebagai Ketua RW 003 Kelurahan Karangpuang.
Setelah keluar larangan rangkap jabatan, dia tak lagi menjadi Ketua LPM. Itu lantaran warga tak mau kalau bukan dia yang menjadi Ketua RW. Dia lalu melepas posisinya sebagai Ketua LPM.
“Sebelumnya, saya hanya jadi wakil saja. Ketua LPM, saat itu, Prof Muin Fahmal, yang berprofesi sebagai akademisi,” tutur Iwan Azis.
Dasar hukum LPM Kelurahan antara lain merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
Menurutnya, LPM ini bagus fungsinya. Posisinya juga kuat karena bisa menjalankan fungsi kontrol. Dia mengibaratkan LPM sebagai minyak di dalam air, yang dalam menjalankan tupoksinya tidak tercampur dan tumpang tindih dengan kelurahan.
LPM itu merupakan mitra strategis pemerintah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat. Lembaga ini punya tupoksi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah, dan membantu peningkatan ekonomi warga.
LPM juga mesti bisa memperkuat potensi masyarakat dalam kegiatan gotong royong, serta aksi sosial yang terkait penanggulangan bencana.
Berdasarkan pengalaman Iwan Azis, ada banyak perannya selaku Ketua LPM dalam membantu masyarakat. Dana bergulir yang disediakan pemerintah untuk dipakai sebagai modal usaha, juga jadi ranahnya. Dalam hal ini, mereka merekomendasi pihak penerima bantuan modal tersebut. Termasuk melakukan pendataan pada orang miskin.
“Kapasitasnya mirip DPR-nya kelurahan. Kalau ada keluhan warga yang tidak tersalurkan maka LPM akan responsif membantu,” bebernya.
Dari penjelasan yang disampaikan, tampak bahwa posisi LPM memang strategis. Bila ada dana kelurahan yang akan dialokasikan maka perlu ada tanda tangan Ketua LPM. Begitupun kalau ada proyek, mesti atas pesetujuan LPM. Uang insetif yang diberikan kepada RT/RW juga butuh tanda tangan LPM.
Posisinya sangat kuat, kalau benar dijalankan. Ini perlu dipahami pemerintah, imbuh Iwan Azis. Bila Lurah tahu posisinya, begitupun LPM, maka akan saling dukung dan terjadi check and balance dalam pemerintahan pada tingkatan terbawah. (*)