Bangsa Palestina mengalami penjajahan dan genosida dari Israel dalam rentang waktu yang panjang sejak 1948 dalam peristiwa Nakba, yakni suatu peristiwa pengusiran dan perampasan secara besar besaran tamah orang Palestina dari negeri leluhurnya oleh Israel kemudian tanah orang Palestina diduduki dan jadi pemukiman baru.
Sejak pengusiran dan penjajahan wilayah Palestina itu terbilang puluhan ribu warga Palestina yang mengalami penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Israel.
Sampai kemudian penyerangan di Jalur Gaza dan genosida yang berlangsung sejak 9 Oktober 2023 sampai hari ini Agustus 2024.
Salah seorang sosok tokoh yang sangat disegani dan dihormati di kalangan bangsa Palestina adalah Ismail Haniyeh (62).
Dia menjadi salah seorang pemimpin perlawanan Hamas yang lebih banyak berperan di luar Palestina dan menetap di Doha Qatar.
Tokoh yang sedang merintis perdamaian dan bernegosiasi untuk menghentikan pemboman dan genosida di Jalur Gaza ini menemui ajalnya dengan meninggal secara tragis Rabu dinihari 31 Juli 2024, karena dibunuh di wilayah Iran sehari setelah menghadiri pelantikan Presiden ke-9 Iran, Masoud Pezeshkian.
Sosok Ismail adalah pejuang kemerdekaan yang secara terus menerus melakukan perlawanan terhadap Israel untuk membebaskan bangsa Palestina dan Masjid Aqsa dan itu dijalani sampai meninggal dunia dengan mati syahid di Teheran Iran selaku tamu resmi pemerintah Iran.
Almarhum Ismail, lahir 1962 di kamp pengungsi Shati di Gaza, orang tuanya Haniyeh telah melarikan diri dari Asqalan – sebuah kota yang sekarang dikenal sebagai Ashkelon – setelah negara Israel didirikan 1948.
Ismail Haniyeh menempuh pendidikan menengah di Institut Al-Azhar di Gaza dan kemudian memperoleh gelar dalam bidang sastra Arab dari Universitas Islam di Gaza.
Saat kuliah 1983, Haniyeh bergabung dengan kelompok mahasiswa Islam yang kelak jadi cikal bakal kehadiran Hamas . Dia ditangkap oleh militer Israel dan menjalani beberapa hukuman di penjara Israel 1980-an.
Israel memenjarakan Haniyeh selama 18 hari pada usia 25 tahun, saat itu dia ikut serta dalam protes terhadap pendudukan. Setahun kemudian 1988, ia dipenjara lagi selama enam bulan. Ia menghabiskan tiga tahun di penjara pada 1989.
Tahun kelulusan selaku sarjana 1987, menandai dimulai pemberontakan massal Palestina pertama melawan pendudukan Israel, yang dikenal sebagai Intifada pertama , dan berdirinya Hamas.
Setelah dibebaskan, Israel mendeportasi Haniyeh ke Lebanon Selatan bersama ratusan pemimpin dan aktivis Palestina lainnya, tempat dia menghabiskan waktu selama setahun.
Selama masa itu, kelompok tersebut mendapat liputan media yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga membangun reputasi global.
Setelah penandatanganan Perjanjian Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina , Haniyeh kembali ke Gaza 1993, pada usia 31 tahun, dan diangkat sebagai dekan Universitas Islam.
Haniyeh naik pangkat dalam gerakan tersebut sebagai pembantu dekat dan asisten salah satu pendiri Hamas, mendiang Sheikh Ahmed Yassin.
Pada tahun 2001, ketika Intifada kedua meletus , Haniyeh mengukuhkan posisi sebagai salah satu pemimpin politik Hamas, bersama Yassin dan Abdel Aziz al-Rantisi, yang merupakan salah satu pendiri Hamas.
Pada 2003, Haniyeh dan Yassin lolos dari upaya pembunuhan ketika jet tempur Israel mengebom sebuah blok apartemen di pusat kota Gaza tempat kedua pria itu bertemu.
Hanya enam bulan kemudian, Yassin, yang lumpuh, menjadi sasaran dan dibunuh oleh helikopter Israel saat ia meninggalkan masjid setelah salat subuh.
Pada 2006, di usia 44 tahun, Haniyeh memimpin Hamas meraih kemenangan pemilihan legislatif atas gerakan Fatah , yang telah berkuasa selama lebih dari satu dekade.
“Jangan takut,” kata Haniyeh kepada BBC pada tahun 2006.
“Hamas adalah gerakan Palestina, gerakan yang sadar dan matang, gerakan yang terbuka secara politik di kancah Palestina, dan juga di wilayah Arab dan Islam, dan juga terbuka di kancah internasional.”
Meskipun ia sempat menjabat sebagai perdana menteri Otoritas Palestina (PA) pada tahun 2006, Barat – yang bantuannya sangat penting bagi berfungsinya PA – menolak bekerja sama dengan Hamas.
Fatah dan Hamas juga segera terlibat dalam pertempuran sengit menyebabkan pembubaran pemerintahan persatuan mereka 2007.
Haniyeh diberhentikan sebagai perdana menteri oleh presiden PA, Mahmoud Abbas. Hal ini menjadi awal terbentuknya pemerintahan independen dipimpin Hamas di Jalur Gaza – yang dipimpin oleh Haniyeh. Sebagai tanggapan, Israel memberlakukan blokade terhadap Gaza.
“Perampasan ini tidak boleh mematahkan tekad kami dan tidak boleh mengubah konflik ini menjadi konflik internal Palestina dan konflik itu harus melawan pihak-pihak yang memaksakan pengepungan terhadap rakyat Palestina,” kata Haniyeh kemudian.
Pada 2018, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menetapkan Haniyeh sebagai “teroris” , dengan mengatakan bahwa ia telah menjadi “pendukung perjuangan bersenjata, termasuk terhadap warga sipil”.
Penetapan tersebut secara efektif memberlakukan pembatasan perjalanan pada pemimpin Hamas dan berarti bahwa semua aset keuangan berbasis di AS yang mungkin dimilikinya dibekukan.
Dalam gerakan Palestina, Haniyeh memiliki reputasi sebagai seorang “pragmatis” yang memiliki jalur terbuka dengan berbagai faksi dalam perjuangan pembebasan.
Pada tahun 2019, setelah mengundurkan diri sebagai pimpinan Hamas di Gaza, Haniyeh meninggalkan daerah kantong itu dan mulai tinggal di luar negeri, memimpin upaya diplomatik kelompok tersebut sebagai kepala politiknya.
Pada tanggal 10 April 2024, tiga anaknya – Hazem, Amir dan Mohammad, beserta sejumlah cucunya, tewas di Gaza, di tengah perang yang terus berlanjut.
“Melalui darah para martir dan penderitaan mereka yang terluka, kita ciptakan harapan, kita ciptakan masa depan, kita ciptakan kemerdekaan dan kebebasan bagi rakyat dan negara kita,” katanya, seraya menambahkan bahwa sekitar 60 anggota keluarganya, termasuk keponakan, telah terbunuh sejak dimulainya perang.
“Tidak diragukan lagi bahwa musuh kriminal ini didorong oleh semangat balas dendam, semangat pembunuhan dan pertumpahan darah, dan tidak mematuhi standar atau hukum apa pun,” kata Haniyeh.
Pembunuhan atas dirinya secara keji dan brutal lewat pemboman di Iran sekaligus mengakhiri jalan hidup perjuangan kemerdekaan membebaskan negaranya dari penjajahan dan genosida Israel. ***