Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
“Sepeda motor dimasukkan ke studio hanya untuk memberi efek suara kendaraan bermotor. Bukan main suaranya menggelegar dengan asap yang mengepul,” kenang AB Iwan Azis, sambil tersenyum.
Lelaki yang lahir setahun setelah Indonesia merdeka itu, penuh semangat berbagi kisah polah dia dan teman-temannya di tahun 1960an. Sepeda motor yang dimaksud dalam ceritanya itu, adalah sepeda motor miliknya, merek Yamaha Twin Jet, yang punya dua knalpot.
Kejadiannya di studio Radio Republik Indonesia (RRI) Makassar, Jalan Riburane Nomor 3. Menurut Iwan Azis, begitulah cara kreatif anak-anak muda era itu yang tergabung dalam RRC (Radio Remaja Club). Dia merupakan salah satu unsur ketua dalam kelompok RRC.
“Ketua RRC, saat itu, kalau saya tidak salah ingat, yakni Nasrullah. Dia seorang seniman juga. Saya masih ingat wajahnya,” tutur Iwan Azis.
Saya menjadi teman ngobrol Iwan Azis, sore it, Selasa, 25 Februari 2025. Beberapa saat kemudian bergabung Fadli Andi Natsif, akademisi UIN Alauddin Makassar yang juga seorang penulis.
Iwan Azis yang kita kenal punya jejaring luas di kalangan pengusaha, wartawan, seniman, kala itu masih muda. Seingat dia, saat itu, dia belum menikah. Masih suka nongkrong di RRI, yang memang punya letak strategis di pusat Kota Makassar.
Sebelum ada radio-radio swasta di Makassar, RRI Makassar memang menjadi tempat bagi anak-anak muda untuk menyalurkan hobi mereka. Kala itu, masih disebut sebagai RRI Nusantara IV, dan masih bersiaran di jalur AM dan SW.
Jika menilik sejarahnya, cikal bakal keberadaan RRI sudah ada sejak zaman pendudukan Jepang. Begitu tentara Dai Nipon mendarat di Kota Makassar, tahun 1942, mereka langsung mendirikan stasiun radio. Studionya berada di Jalan Rajawali, dekat Pantai Losari. Stasiun radionya bernama Makassaru Hoso Kyoku (MHK)
Setelah negara Matahari Terbit itu kalah dari pasukan Sekutu, MHK diambil alih dan berganti nama menjadi Radio Omroep Makassar (ROM). Pengelolaan stasiun radio ini di bawah kendali satu badan penyiaran bernama Reegering Voorlightings Dients (RVD).
Pada tahun 1947, stasiun radio ini berganti nama lagi menjadi Radio Oemroep in Overgangtijd (ROIO), yang dimiliki badan penyiaran tentara Belanda/NICA.
Di tahun 1950, Kamarsayah, Sutoyo dan Muri tiba dari Jakarta untuk mengambil alih radio ini dan menjadikannya Radio Republik Indonesia (RRI). Selama masa revolusi dan pergolakan, RRI selalu jadi rebutan. Peran dan jasa RRI Makassar sangat signifikan dalam memberikan informasi dan edukasi pada masyarakat.
Pada tahun 1967, Kepala Stasiun (Kepsta) RRI Makassar adalah Muhammad Sani, yang banyak memberi warna dalam perjalanan radio ini.
Di masanya, diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang pertama di Makassar. MTQ tahun 1968 itu mendapat dukungan Walikota Makassar, HM Daeng Patompo, dan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, Achmad Lamo.
RRI Makassar berkembang setelah pindah dari Jalan Rajawali ke alamat yang sekarang d Jalan Riburane. Stasiun radionya menempati lahan eks Taman Wilhelmina (Wilhelmina Park). Posisinya stategis, di antara Fort Rotterdam dan gedung Societeit de Harmonie.
Iwan Azis ingat dengan baik, beberapa penyiar RRI Makassar, kala itu. Ada Latif Kamaruddin, Roswati Abbas, dan M Hasyim Ado. Hasyim Ado bahkan tak cuma bersiaran di RRI Ujung Pandang, tapi juga di TVRI Ujung Pandang.
Kegiatannya di RRI terbilang wah karena dia dan teman-teman RRC-nya mengadakan pertunjukan drama di aula lama. Salah satunya, drama berjudul “Hatinya Suci Kembali”, yang disutradarai Fahmi Syarif. Mereka juga menggelar konser musik.
Kegiatan lainnya berupa balapan sepeda motor dengan membuat sirkuit darurat di bundaran Tugu Selamat Datang di Jalan Riburane. Poltabes Makassar kemudian mengajak mereka untuk bekerjasama. Lalu menggelar balapan motor di jalan depan Pelabuhan Sukarno-Hatta sampai ke pabrik terigu.
“Kegiatan ini punya dampak ke masyarakat, tapi dulu itu belum ada istilah kegiatan sosial,” kata Iwan Azis.
Banyak anak-anak SMA bergabung dengan RRC untuk menyalurkan ekspresi dan bakat seninya.
Beberapa teman RRC lantas jadi penyiar RRI, antara lain Mustakim Tinulu, Munir Amin, dan Iksan Amar. Mereka ini seniman pada masa itu.
RRC ini menyebar ke seluruh Indonesia. Ini komunitas kayak sahabat pena. Mereka sesama fans RRI saling berkomunikasi di udara tanpa pernah bertemu.
“Dahulu itu RRI sangat dikagumi. Ada kebanggaan bila mejjadi bagian dari RRI. RRI menjadi semacam kampus kedua bagi teman-teman seniman,” lanjut Iwan Azis.
Kami bahkan bikin pertunjukan di RRI dengan menjual tiket. Dan penonton selalu banyak. Orang senang kalau bisa menginjakkan kakinya di RRI.
Mereka senang kalau bisa berbicara dan bersiaran di RRI karena didengar banyak orang. Itulah mengapa kami punya kemampuan berbicara karena sudah terlatih di RRI.
Iwan Azis mengakui, RRI punya peran dalam memajukan kesenian di Kota Makassar. RRI memberi ruang bagi seniman untuk mengembangkan kemampuan seni mereka.
Ini semacam simbiosis mutualisma. Sebab siaran itu juga berdampak pada program dan pendengar RRI yanv kala itu masih merupakan radio pemerintah.
Saya lalu menimpali bahwa Rosmaladewi, pernah di acara Beranda Pak RT, di mana saya sebagai host-nya menyampaikan, duhulu sulit bisa menyanyi di RRI. Kini akses lebih dibuka. Iwan Azis juga pernah menjadi tamu di acara obrolan yang disiarkan RRI Pro1 Makassar itu bersama Kelurahan Karampung dan Kecamatan Panakkukang.
“Saya itu karena punya pergaulan cukup luas maka banyak diberi kemudahan. Istilahnya networking,” ujar Iwan Azis.
Sehingga ketika dia diberi ruang untuk mengelola acara AIR, di TVRI Sulawesi Selatan, dia sanggup menjalankannya. AIR merupakan akronim dari Aspirasi Inspirasi Rakyat.
Iwan Azis mengelola program AIR ini selama setahun. Dia lalu mengajak beberapa temannya, seperti AM Mochtar, Ridha Rasyid, dan Pahir Halim. Tema yang dibahas seputar dinamika sosial masyarakat, mulai dari kehidupan malam hingga kemacetan kota. (*)