Oleh : Muhammad Azhar Mawardi
Formatur Terpilih PD PM Kab. Wajo
Pemuda selalu jadi harapan masa depan, terutama dalam hal politik. Sejak zaman perjuangan kemerdekaan hingga reformasi, mereka selalu ada di garis depan untuk mendorong perubahan.
Tapi, belakangan ini, ada masalah besar yang dihadapi generasi muda, yaitu pragmatisme politik. Politik pragmatis ini fokus pada kepentingan sesaat dan keuntungan jangka pendek, sering kali dengan mengorbankan idealisme dan prinsip.
Hal ini menjadikan banyak pemuda kehilangan arah dan terjebak dalam permainan politik praktis. Dalam situasi politik Indonesia sekarang, fenomena ini nampak jelas, banyak pemuda yang awalnya penuh semangat memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, tapi malah terjerumus dalam sistem politik yang nggak sehat.
Mereka sering kali harus berkompromi, ikut arus, bahkan rela melepas idealisme yang mereka pegang sejak awal demi mendapatkan jabatan, kekuasaan, atau keuntungan finansial.
Salah satu contoh konkret yang menggambarkan fenomena ini adalah kasus Harun Masiku, seorang politisi muda yang terlibat dalam skandal suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI pada tahun 2019.
Harun, yang saat itu masih terhitung baru di panggung politik, seharusnya menjadi sosok pemuda dengan semangat idealis yang bisa membawa perubahan positif. Namun, sayangnya, dia justru terjebak dalam permainan uang dan kekuasaan demi mendapatkan kursi di DPR melalui jalur yang tidak sah.
Kasus Harun Masiku ini mencerminkan bagaimana pragmatisme politik bisa merusak potensi pemuda di dunia politik. Alih-alih berjuang untuk kepentingan rakyat dan membawa idealisme dalam politik, Harun memilih jalan singkat dan praktis dengan mencoba membeli posisinya melalui suap.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman pragmatisme politik, bahkan pada pemuda yang seharusnya menjadi harapan masa depan.
Sistem politik yang sarat dengan praktik transaksional dan budaya “asal dapat posisi” juga mendorong politisi muda seperti Harun untuk meninggalkan idealisme mereka. Ini adalah gambaran nyata bagaimana pemuda sering kali harus berkompromi dengan nilai-nilai mereka demi bertahan di dalam sistem yang sudah sangat terkooptasi oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa pragmatisme politik tidak hanya mengikis idealisme pemuda, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap politisi muda yang seharusnya membawa perubahan.
Contoh lain dari cengkeraman pragmatisme politik ini bisa dilihat dalam fenomena “politik dinasti.” Ada banyak anak muda yang masuk ke politik hanya karena mereka berasal dari keluarga yang berkuasa.
Mereka sering kali hanya melanjutkan kekuasaan keluarga tanpa memperjuangkan kepentingan masyarakat secara tulus.
Ini terlihat jelas dalam beberapa kasus di daerah, di mana pemuda yang berasal dari keluarga dengan pengaruh politik yang kuat begitu mudahnya mendapat posisi penting, bukan karena kompetensi atau visi mereka, tapi karena pengaruh keluarganya.
Akhirnya, politik jadi sekadar “pewarisan kekuasaan,” tanpa ada upaya untuk memperjuangkan perubahan yang nyata.
Kenapa bisa begitu? Salah satu alasan utamanya adalah sistem politik yang memang penuh dengan kepentingan. Dunia politik Indonesia banyak diwarnai oleh praktik transaksional, lobi-lobi kepentingan, dan pengaruh oligarki.
Bagi banyak pemuda yang terjun ke politik, ini jadi tekanan besar. Alih-alih memperjuangkan perubahan, mereka malah harus ikut “main” agar bisa bertahan dan punya posisi.
Semangat idealisme yang awalnya kuat, lambat laun memudar karena terbawa arus kepentingan pragmatis tadi.
Selain itu, masalah lain datang dari kurangnya pendidikan politik yang baik. Banyak pemuda yang terjun ke dunia politik tanpa pemahaman mendalam soal etika dan prinsip.
Ini menjadikan mereka lebih rentan untuk tergoda oleh politik praktis yang lebih mengutamakan hasil instan—seperti jabatan, uang, atau popularitas—daripada memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dan bermakna.
Pragmatisme politik ini juga melahirkan budaya oportunisme. Banyak politisi muda yang lebih peduli pada kepentingan pribadi atau kelompok mereka daripada memperjuangkan masyarakat.
Akibatnya, banyak orang kehilangan kepercayaan pada pemuda sebagai agen of change yang selama ini mereka harapkan. Padahal, justru pemuda lah yang seharusnya jadi pendorong moral di tengah hiruk-pikuk politik yang sering kali kotor.
Meski demikian, harapan belum hilang. Pemuda masih punya kesempatan untuk bangkit dan melepaskan diri dari cengkeraman pragmatisme politik ini. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat pendidikan politik yang berfokus pada integritas, nilai, dan etika.
Pemuda harus sadar bahwa politik bukan hanya soal kekuasaan dan keuntungan jangka pendek, tapi juga tentang tanggung jawab dan keberpihakan pada kepentingan publik.
Pemuda juga harus berani menolak ikut dalam permainan politik transaksional. Mereka perlu membangun gerakan yang berbasis pada nilai-nilai moral dan prinsip. Kalau pemuda bisa bersatu dan bergerak dengan integritas, mereka bisa jadi kekuatan besar yang membawa perubahan positif dalam politik Indonesia.
Kesimpulannya, cengkeraman pragmatisme politik adalah tantangan besar yang dihadapi oleh pemuda dalam peran politik mereka saat ini. Meski pragmatisme bisa memberikan hasil instan, pemuda harus tetap memegang teguh idealisme dan prinsip yang kuat.
Dengan integritas dan komitmen pada kepentingan masyarakat, pemuda dapat membebaskan diri dari cengkeraman pragmatisme dan menjadi agen perubahan yang mampu membawa politik Indonesia ke arah yang lebih baik.
Masa depan bangsa ada di tangan pemuda, dan hanya dengan menolak pragmatisme politik yang sempit, pemuda bisa benar-benar memperjuangkan perubahan nyata yang diimpikan oleh banyak orang.